Selain karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi. Menurut Mahkamah, UU Perkoperasian 2012 bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini.
Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992. ”Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya UU yang baru,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 28/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Rabu (28/5).
Permohonan ini diajukanGabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-Nisa Jawa Timur, Pusat Koperasi Bueka Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Perkoperasian 2012.
Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum
koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan
koperasi itu dinilai mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, asas
kekeluargaan, kebersamaan yang dijamin konstitusi.
Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.
Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.
”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).
Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.
Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.
Misalnya, definisi koperasi menempatkan koperasi hanya sebagai ”badan hukum” dan/atau sebagai subjek berakibat pada korporatisasi koperasi. Membuka peluang modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh pemerintah dan atau pemilik modal besar untuk diinvestasikan pada koperasi. Hal itu bentuk pengerusakan kemandirian koperasi. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menilai Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang menyebut koperasi sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Hal tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
”Dalil pemohon bahwa pengertian koperasi mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan menurut hukum,” kata anggota Majelis, Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi,” tuturnya.
Maria melanjutkan Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil dan finansial) utamanya,” lanjutnya.
Ditegaskan Mahkamah UU Perkoperasian mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Karenanya, filosofi UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Pengertian koperasi itu ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain dalam UU Perkoperasian, sehingga mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas.”
Akibatnya, menurut Mahkamah, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas. Koperasi menjadi kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bangsa yang berfilosofi gotong royong. Mahkamah berpendapat meskipun permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU Perkoperasian, maka harus dibatalkan seluruhnya.
”Sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi,” kata Maria.
Usai persidangan, salah satu pemohon Wigatiningsih mengungkapkan pembatalan UU Perkoperasian sudah sejalan dengan jati diri koperasi. Karena itu, sejak putusan adanya putusan ini saat ini koperasi bukan lagi berbadan hukum yang pengoperasiannya lebih condong seperti Perseroan Terbatas (PT).
Begitupula, modal pengelolaan koperasi pun berasal dari anggota, bukanlah dari non-anggota (pihak asing). “Jadi kalau ada pemodal dari luar tentunya keuntungan bukan lagi milik anggota, malah menjadi milik pemodal. Jadi ada kekuasaan tertentu, tidak sama dengan ’ruh’ koperasi terdahulu,” kata Wigatiningsih.
Pemohon menyatakan tetap konsisten terhadap UU Koperasi yang lama hingga terbitnya peraturan yang baru.
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5385bfa83b01f/uu-perkoperasian-dibatalkan-karena-berjiwa-korporasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar