Hari Selasa 16 Desember, nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat masih terus turun dengan Rp12.835 per US$1.
Padahal,
ketika Bank Indonesia mengumumkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
mencapai Rp12.559, kemarin, nilai itu adalah yang terendah sejak krisis
keuangan yang melanda Indonesia dan kawasan Asia 1998 lalu.
Dalam
konferensi pers, Selasa (16/12), Menteri Koordinator Perekonomian Sofjan Djalil
mengatakan nilai tukar rupiah yang rendah terhadap dollar AS disebabkan faktor
eksternal.
“Kalau
Anda melihat negara-negara lain, Yen Jepang, misalnya, depresiasinya sampai
dengan 15%. Overall, negara-negara di Asia, Latin Amerika, bahkan Rusia
mengalami depresiasi luar biasa. Ini semua di luar kontrol kita, yaitu
kebijakan atau ekspektasi, atau spekulasi terhadap apa yang akan terjadi di
Amerika,” ujarnya.
Secara
terpisah, Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas
Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna Artha, menjelaskan bahwa dalam pekan ini Bank
Sentral AS atau The Fed akan mengadakan pertemuan membahas suku bunga.
Ketidakpastian
apakah suku bunga akan dinaikkan atau tidak itulah yang menyebabkan gencarnya
arus keluar modal asing dari pasar finansial Indonesia.
Tekanan
inflasi
Selain
faktor The Fed, lanjut Kadek, bulan Desember adalah saat sektor swasta
melakukan pembayaran utang.
“Namun,
lepas dari kedua faktor tersebut, saya melihat bahwa pasar merasakan tekanan
inflasi domestik. Selain kenaikan harga bahan bakar minyak, dalam waktu dekat
ada pula rencana kenaikan tarif listrik dan tarif kereta api," kata Kadek
kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
"Hal
itu menyebabkan ekspektasi inflasi tinggi, sehingga rencana investor untuk
menanamkan investasinya di pasar Indonesia menjadi berkurang. Kombinasi
faktor-faktor inilah mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,”
tambahnya.
Soal
periode gejolak, Wakil Direktur Asian Development Bank, Edimon Ginting,
memprediksi penurunan nilai tukar rupiah tidak berlangsung lama.
“Kalau
sampai gejolaknya di atas normal, Bank Indonesia pasti akan intervensi. Sejauh
ini, pelemahan rupiah bisa diantisipasi,” ujarnya.
Meski
demikian, I Kadek Dian Sutrisna Artha mengingatkan nilai tukar rupiah yang loyo
harus diwaspadai. Menurutnya, hal itu dapat berdampak pada kenaikan harga-harga
barang produk domestik.
“Sebagian
besar industri kita bahan bakunya impor. Pelemahan nilai tukar rupiah akan
mempengaruhi harga-harga produk industri domestik. Hal itu tentu akan berdampak
pada daya beli masyarakat. Sebab, harga barang yang tinggi sedangkan
penghasilan tetap, real income masyarakat akan turun,” kata Kadek.
Dalam hal ini seharusnya pemerintah harus
membuat kebijakan kebijakan baru yang bisa memperkuat rupiah kembali dan
meningkatkan sektor industri dalam negeri, agar tidak selalu mengandalkan impor
dan pada akhirnya akan berujung pada defisit anggaran dan merosotnya nilai mata
urang rupiah di luar negeri.
Sumber : http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141216_rupiah_dollar_turun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar